![]() |
| DISKUSI : Diskusi publik Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran dari Sudut Pandang Energi. (Foto:dok) |
"Jika bicara rasionalitas, dua opsi yang paling masuk akal adalah bioenergi dan nuklir, masing-masing memiliki risiko dan konsekuensi. Kita harus memilih dengan analisis ekonomi dan arah kebijakan yang jelas. Nuklir merupakan energi yang rasional. Kebutuhan bahan bakarnya kecil, namun energi yang dihasilkan besar," kata Kiki dalam diskusi bertema "Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran dari Sudut Pandang Energi" di Pontianak, Kalimantan Barat, Jumat (21/11/2025).
Selain berguna untuk elektrifikasi masyarakat, Kiki menyebut PLTN juga bisa memenuhi kebutuhan listrik industri di Kalbar. Kiki yakin PLTN berpotensi menaikan produktivitas industri yang berimbas pada kesejahteraan masyarakat.
"Industri smelter bauksit membutuhkan energi sangat besar dan tidak mungkin selamanya mengandalkan gas atau batu bara. Mereka membutuhkan nuklir. Jika tersedia, kemampuan produksi alumina akan meningkat drastis. Kebutuhan masyarakat juga akan ikut terpenuhi," kata dia.
Meski demikian, Kiki menekankan pembangunan PLTN harus diiringi kehati-hatian ekstra. Ia menyebut pemerintah harus memberikan jaminan keamanan dan menumbuhkan kesadaran publik melalui transparansi serta edukasi soal PLTN. Tanpa hal tersebut, Kiki menyebut rencana pembangunan PLTN akan menemui banyak kendala karena penolakan dari masyarakat yang minim informasi.
"Jika ingin membangun PLTN, semua harus transparan. Masyarakat perlu tahu risiko dan ikut menjadi bagian dari mitigasinya. Ketakutan muncul karena ketidakjelasan. Diskusi soal nuklir pun masih minim di Kalbar, lebih banyak dibahas di pusat," kata Kiki.
Dalam kesempatan yang sama, pakar kebijakan publik dari Untan, Dr. Erdi, M.Si juga menyatakan PLTN sebagai solusi ekonomis untuk swasembada energi listrik di Kalbar. Ia menyebut rencana pembangunan PLTN juga sudah lama dimasukan ke dalam Rencana Tata Ruang Energi Nasional (RTN). Saat ini, menurut dia, pekerjaan rumah pemerintah adalah meyakinkan masyarakat tentang keamanan dan manfaat luar biasa dari PLTN.
"Menurut saya, paling tidak di masa pemerintahan Prabowo–Gibran ini, pemerintah harus mampu memberikan keyakinan itu kepada masyarakat. Jika itu terjadi, akan menjadi catatan penting bahwa pemerintah berhasil menanamkan kepercayaan publik bahwa negara bekerja sungguh-sungguh melindungi rakyat, termasuk memberikan jaminan jika kondisi terburuk sekalipun terjadi," ungkapnya.
Terakhir, pakar ekonomi dari Untan, Meiran Panggabean, menyebut pembangunan PLTN di Indonesia merupakan suatu keniscayaan karena Presiden Prabowo sudah memasukkannya dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan (RUKN) 2025-2029. Selain itu, kata dia, PLTN sudah banyak dimanfaatkan banyak negara maju.
Meiran memaparkan studi kelayakan pembangunan PLTN di Kalbar juga sudah menunjukkan keamanan dari sisi geologi dan topografi. Dengan adanya PLTN, ia optimistis Kalbar bisa berhenti melakukan impor listrik dari Malaysia. Bahkan, PLTN bakal membuat produksi listrik surplus hingga bisa diekspor ke negara tetangga. "Jadi tinggal hitungan efisiensi, apakah lebih murah dan lebih fleksibel untuk menopang industri seperti alumina. Kalau itu terpenuhi, bahkan kita bisa punya potensi mengekspor listrik," pungkasnya.
Untuk diketahui, Indonesia masih ketergantungan akan energi fosil dan emisi tinggi. Sekitar 66% listrik Indonesia masih berasal dari batu bara dengan kontribusi pada sektor energi menyumbang sekitar 650 juta ton karbon dioksida pada 2022. Energi bersih yang bersifat renewable hanya mencakup sekitar 13-15% dari total kapasitas listrik. Padahal, pemerintah menargetkan 23% pada 2025.
Oleh karena itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang mempersiapkan draft Peraturan Presiden yang mengatur Badan Pembangunan Pembangkit Nuklir atau Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO). Perpres tersebut ditargetkan akan rampung tahun ini.
Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan (EBTKE) Eniya Listiani Dewi mengatakan kehadiran Perpres itu akan menjadi dasar untuk mengeksekusi pembangunan pembangkit nuklir pertama di Tanah Air. Dia mengatakan draft awal peraturan tersebut sudah dibahas bersama Dewan Energi Nasional (DEN), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Sekretariat Negara dan Kementerian Hukum. “Kami sudah berdiskusi,” kata Eniya beberapa waktu yang lalu.(lyn/*)
