-->

Aksi Damai Mahasiswa Universitas PGRI Pontianak, Perjuangkan Kesejahteraan Guru jangan Hanya Slogan

Editor: Redaksi
Sebarkan:

AKSI DAMAI: Puluhan mahasiswa dari kampus Universitas PGRI Pontianak melakukan aksi damai memperingati hari guru tahun 2025. (Foto:ist)
PONTIANAK, suaraborneo.id - Puluhan  mahasiswa Universitas PGRI Pontianak melakukan aksi damai memperingati hari guru tahun 2025. Aksi damai dipimpin Koordinator lapangan Agung S bersama unsur Dewan Perwakilan mahasiswa (DPM), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Himpunan  Mahasiswa Program Studi (HMPS), serta Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Selasa (25/11/2025) petang di kawasan Pontianak Water Tower Simpang Pajak, Pontianak.

Korlap aksi mengatakan pada momentum Hari Guru ini sebagai mahasiswa perlu menyuarakan bahwa profesi guru bukan sekadar pekerjaan rutin, tetapi pilar yang menopang masa depan bangsa. 

"Guru telah membentuk karakter jutaan anak yang kelak menjadi pemimpin, birokrat, tenaga kesehatan, penegak hukum, hingga pengusaha besar, " katanya. 

Namun, penghormatan yang diberikan kepada guru sering kali hanya sebatas seremoni setiap tahun, tanpa komitmen serius untuk memperbaiki kesejahteraan mereka. 

"Kita perlu jujur mengakui bahwa bangsa ini berdiri karena guru, dan tanpa guru yang kuat maka kota ini dan negeri ini akan rapuh dalam senyap," katanya lagi.

Di balik perayaan Hari Guru, masih ada realitas pahit mengenai hak-hak guru yang belum terpenuhi secara layak. 

Banyak guru honorer di Kota Pontianak yang masih bergantung pada kontrak pendek, dibayar tidak pasti, dan tidak memiliki jaminan kesejahteraan yang seharusnya menjadi hak dasar seorang pendidik. Ketika mereka menuntut hak, mereka dianggap menyulitkan padahal yang mereka minta bukanlah kemewahan, melainkan penghargaan setimpal untuk pekerjaan intelektual dan emosional yang begitu besar. 

Hari ini seharusnya menjadi panggilan moral bagi pemerintah daerah dan masyarakat untuk memperjuangkan hak guru secara konkret, bukan sekadar slogan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa gaji guru, terutama guru honorer, masih jauh dari kata memadai jika dibandingkan dengan beban kerja yang mereka pikul setiap hari. 

Masih banyak guru yang bekerja penuh waktu tetapi menerima upah yang bahkan tidak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup keluarga mereka. Mereka mengajar dari pagi hingga sore, membawa tugas hingga ke rumah, tetapi penghargaan ekonominya tidak mencerminkan perannya sebagai penentu kualitas generasi bangsa. Jika kita sungguh menghargai guru, maka ukuran penghargaan itu harus terlihat dari gaji dan kesejahteraan yang layak, bukan dari ucapan terima kasih semata.

Kita juga harus mengingat bahwa julukan pahlawan tanpa tanda jasa bukanlah pujian yang membahagiakan bagi guru, tetapi sering kali menjadi alasan untuk tidak memberikan mereka kesejahteraan yang layak. 

"Para guru selama ini bekerja melampaui batas, mendidik anak-anak meskipun mereka sendiri hidup dalam keterbatasan. Kita harus mengkritisi budaya ini bahwa guru diminta untuk ikhlas tanpa batas, tetapi negara dan masyarakat tidak pernah benar-benar memberikan balasan sepadan," tuturnya.

Kehormatan yang sesungguhnya bukanlah pujian kosong, tetapi jaminan hidup yang adil bagi para pendidik.

Masih banyak guru yang harus mengajar di lokasi-lokasi yang jauh dari pusat kota, bahkan melewati akses jalan yang buruk atau transportasi yang tidak selalu tersedia. Mereka berjalan jauh, menempuh hujan panas, hanya untuk memastikan anak-anak di pelosok tetap mendapatkan pendidikan yang sama dengan anak-anak di pusat kota, katanya.

Perjuangan mereka ini sering luput dari perhatian publik, seolah-olah pengorbanan itu adalah hal biasa. Padahal merekalah yang memastikan bahwa pendidikan tidak menjadi hak eksklusif warga kota, tetapi hak semua warga negara.

"Fasilitas pendidikan yang kurang memadai di beberapa sekolah di Pontianak dan sekitarnya juga menambah berat beban guru," ungkap korlap.

Masih ada ruang kelas yang sempit, perpustakaan yang kosong, perangkat belajar yang usang, hingga alat peraga yang tidak tersedia. Dalam kondisi seperti ini, guru dipaksa untuk mengajar dengan kreativitas dan modal pribadi yang tidak pernah dihitung oleh negara. Mereka membangun proses pendidikan dari keterbatasan, karena tidak ingin peserta didik kehilangan kesempatan belajar. Ini adalah kritik keras bahwa infrastruktur pendidikan belum menjadi prioritas yang konsisten.

Pada akhirnya, guru harus kita akui sebagai akar dari segala profesi dan kepemimpinan. Tidak ada dokter tanpa guru, tidak ada hakim tanpa guru, tidak ada pemimpin daerah tanpa guru. Kota Pontianak tidak akan pernah memiliki sumber daya manusia unggul tanpa kerja panjang para pendidik di ruang-ruang kelas yang sering kita abaikan. Karena itu, Hari Guru harus menjadi momentum untuk bergerak memperjuangkan hak guru, mendesak perbaikan gaji, menyediakan fasilitas memadai, dan memastikan guru tidak lagi berdiri sendiri dalam pengorbanannya. 

Jika akar itu kuat maka pohon besar bernama bangsa akan tumbuh kokoh tetapi jika akar itu dibiarkan rapuh, maka runtuhlah masa depan kita bersama.

Fenomena di mana guru harus meminta maaf lebih dulu ketika menegur murid yang berbuat salah memang menjadi persoalan serius dalam dunia pendidikan saat ini. Situasi ini muncul karena beberapa faktor sosial meningkatnya sensitivitas orang tua, kurangnya pemahaman tentang etika pendidikan, posisi guru yang dianggap rentan secara hukum, hingga maraknya kasus-kasus viral yang seringkali memojokkan guru tanpa melihat konteks kejadian secara utuh. Akibatnya, guru yang menjalankan tugas mendidik justru berada dalam posisi defensif, seolah-olah setiap tindakan disiplin yang mereka ambil adalah potensi masalah.

Hal seperti ini terjadi karena ada pergeseran budaya dulu guru dihormati karena dipercaya membentuk karakter, tetapi sekarang sebagian masyarakat salah memahami bahwa teguran berarti kekerasan atau merendahkan anak. Padahal, dalam pendidikan, teguran yang tepat adalah bagian dari membentuk disiplin, tanggung jawab, dan karakter seorang murid. Ketika guru harus minta maaf untuk sesuatu yang bukan salahnya, maka proses pendidikan menjadi pincang guru kehilangan wibawa, murid kehilangan batas, dan orang tua kehilangan peran dalam membangun kedisiplinan bersama.

Yang perlu dipahami guru menegur bukan karena benci, tetapi karena peduli. Jika seorang anak dibiarkan tanpa teguran, justru itu tanda bahwa ia sedang dibiarkan tumbuh tanpa arah. 

Maka, seharusnya yang terjadi adalah kerja sama orang tua mendukung teguran yang kuat namun proporsional dari guru, sekolah memberi perlindungan terhadap guru, dan masyarakat memahami bahwa disiplin bukan kekerasan. Guru tidak boleh terus-menerus dijadikan pihak yang harus meminta maaf terlebih dahulu; sebab jika pendidikan kehilangan keberanian untuk menegur, maka kita sedang membesarkan generasi yang tidak siap menghadapi kehidupan yang penuh aturan dan konsekuensi.

Setidaknya ada tiga tuntutan yang disampaikan dalam aksi tersebut yakni menuntut pemerintah memperhatikan kesejahteraan dan kualifikasi guru, Menuntut pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme guru, Menuntut pemerintah untuk memberikan keadilan hak dan perlindungan guru.(lyn)

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini