-->

Indonesia Hadapi Tantangan Baru Ekspor Nikel ke AS di Era Trump

Editor: yati
Sebarkan:

Sebuah truk memuat tanah berisi bijih nikel di Pulau Halmahera, Maluku Utara (foto: ilustrasi).

Suaraborneo.id — Upaya perdagangan nikel Indonesia ke Amerika Serikat menghadapi tantangan baru. Presiden AS Donald Trump ingin membatalkan ‘insentif mobil listrik’ yang dibuat pemerintahan sebelumnya. Tanpa insentif, apakah industri mobil listrik AS masih melirik nikel Indonesia?


Pada pidato pertamanya usai dilantik, Presiden Trump mengatakan akan mengakhiri “regulasi hijau” era Joe Biden.

“Dengan Arahan Presiden hari ini, kita akan mengakhiri Green New Deal dan kita akan mencabut mandat kendaraan listrik. Menyelamatkan industri otomotif kita dan menepati janji sakral saya kepada para pekerja otomotif Amerika yang hebat,” ujar Trump, Senin (20/1).

Pada era Joe Biden, Kongres AS meloloskan UU Pengurangan Inflasi AS atau Inflation Reduction Act (IRA), yang salah satunya memuat subsidi pembelian mobil listrik.

UU Pengurangan Inflasi AS menyiapkan 370 miliar dolar AS (setara 5,900 triliun Rupiah) untuk memberikan insentif bagi investasi swasta dalam sektor energi bersih, rantai pasokan, penciptaan lapangan kerja, dan mengurangi biaya energi.

Trump dan para penasihatnya bertekad membatalkan UU itu. Pada hari pertama menjabat, dia telah mencabut peraturan turunan dari legislasi tersebut.

Brigham McCown dari Hudson Institute di Washington mengatakan, upaya untuk merevisi atau membatalkan UU, tetap harus melalui Kongres AS.

“Jadi Donald Trump harus ke Kongres, meminta mereka untuk mencabut bagian dari UU Pengurangan Inflasi, dan kemudian menandatangani RUU itu menjadi undang-undang,” ujarnya kepada VOA.

Meski Partai Republik pendukung Trump menguasai DPR dan Senat, mereka belum tentu satu suara. Karena banyak wilayah yang mereka kuasai, justru mendapat banyak kucuran proyek UU tersebut.

Negara bagian Nevada dan Wyoming, misalnya, mendapat kucuran dana pemerintah federal terbesar per kapita dari UU Pengurangan Inflasi, juga terbesar dibandingkan dengan pendapatan negara bagian masing-masing, menurut Clean Investment Monitor dari Rhodium Group dan Massachusetts Institute of Technology.

“Meski ada kekhawatiran dari beberapa orang tentang pernyataan sebelumnya, tentang pencabutan UU Pengurangan Inflasi, saya pikir itu tidak akan mungkin terjadi karena terlalu banyak orang yang diuntungkan olehnya, bahkan di dalam partainya sendiri,” tegas Brigham.

Dia menambahkan, mengingat Partai Republik memiliki mayoritas tipis di kedua majelis Kongres, hal-hal yang kontroversial akan sangat sulit untuk dilakukan.

Namun tidak berarti UU Pengurangan Inflasi akan bertahan begitu saja.

Cullen Hendrix dari Peterson Institute for International Economics (PIIE) yang berbasis di Washington, memperkirakan ada upaya untuk merevisi sebagian UU.

“Jika Anda meminta saya untuk memberi urutan, saya pikir jelas yang kemungkinan dipangkas dari Undang-Undang Pengurangan Inflasi adalah sisi subsidi konsumen,” jelasnya ketika dihubungi VOA.

Insentif konsumen menjadi salah satu daya tarik indonesia untuk menjual nikelnya ke pasar Amerika.

UU Pengurangan Inflasi AS mengatur insentif pajak pembelian mobil listrik, asalkan sebagian komponennya, seperti nikel, dipasok dari Amerika atau mitra perdagangan bebas Amerika.

Itulah kenapa di bawah Joko Widodo, Indonesia mengupayakan tercapainya Perjanjian Dagang Bebas Terbatas Mineral Kritis, atau Critical Mineral Limited Free Trade Agreement.

Menurut Putra Adhiguna dari Energy Shift Institute, kalau pun subsidi di Amerika dicabut, Indonesia tetap tertarik menjual nikelnya ke AS. Terlebih pasar Amerika tetap merupakan pasar kendaraan Listrik terbesar di dunia setelah China.

“Saya rasa Indonesia pasti akan tetap mencoba mendorong untuk bisa memasukkan produknya ke Amerika. Jadi pasti akan ada usaha dari pemerintah membuat jembatan untuk memasukkan nikelnya ke AS,” ujarnya kepada VOA.

Di sisi lain, tambahnya, sejumlah perusahaan nikel di Indonesia berupaya lebih ramah Amerika, dengan mengurangi kepemilikan saham China.

Meski begitu, ada faktor lain. Bergabungnya Indonesia ke BRICS, menurut Cullen Hendix, mengurangi kemungkinan perjanjian perdagangan antara Indonesia dan AS.

“Ini membuat Amerika Serikat tidak akan tertarik untuk bermitra dengan Indonesia atas dasar ini. Karena pandangan pemerintahan Trump relatif jelas terhadap BRICS, terutama upayanya untuk beralih dari dolar AS,” tambahnya.

Donald Trump sendiri telah mengancam pemberlakuan tarif bagi negara-negara yang tergabung dalam BRICS. Sementara Menlu pilihan Trump, Marco Rubio, juga selama ini menjadi kritikus keras BRICS. [rt/np]

Sumber : Voa Indonesia 
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini