-->

POTADS: Melawan Stigma dan Mendorong Kemandirian Anak dengan Down Syndrome

Editor: yati
Sebarkan:

FILE - Masyarakat Indonesia masih butuh edukasi untuk lebih memahami individu dengan sindrom down. (Foto: Humas RSA UGM)
Suaraborneo.id — “Down syndrome” (sindroma down), suatu kondisi keterbelakangan fisik dan mental akibat perkembangan kromosom 21 yang tidak normal, bukan lagi suatu hal yang baru. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat di Amerika, sedikitnya satu dari 691 bayi terlahir dengan kondisi “down syndrome.” Rasio ini setara dengan 6.000 bayi yang terlahir dalam kondisi ini dalam satu tahun.


Sementara di Indonesia sedikitnya satu dari 700 bayi terlahir dengan kondisi “down syndrome.” Itulah sebabnya sosialisasi informasi dan pemberdayaan sejak dini orang tua yang memiliki anak “down syndrome” merupakan suatu keharusan saat ini.

Diwawancarai VOA, Ketua Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome atau POTADS, Eliza Octavianti Rogi mengatakan, “Yang pertama adalah pemberdayaan untuk para orang tua. Jadi kita melakukan beberapa kegiatan seperti kegiatan sharing, kegiatan seminar atau workshop, yang isinya itu membekali orang tua tentang bagaimana membesarkan anak dengan down syndrome.”

Selain orang tua dengan anak penyandang yang sudah beranjak dewasa, POTADS juga memberi perhatian kepada orang tua yang baru dihadapkan pada kenyataan anaknya adalah penyandang.

“Lalu kami juga lakukan pendampingan kepada para orang tua baru, yang baru saja punya anak down syndrome, tentu mereka mengalami masa-masa yang berat. Butuh waktu untuk penerimaan hingga mereka iklas menerima dianugerahi anak dengan down syndrome,” jelasnya.

Selama ini mereka yang memiliki “down syndrome” digolongkan ke dalam orang dengan disabilitas mental atau intelektual, yang tak jarang masih mengalami diskriminasi di berbagai bidang.

Jeffrey Ong, orang tua seorang anak “down syndrome” mengatakan meskipun “intelligent quotient” (IQ) atau kemampuan untuk menalar, memecahkan masalah, memahami gagasan dan merencanakan sesuatu relatif rendah, tetapi mereka memiliki kemampuan interaksi yang besar.

Jeffrey, yang juga menjadi koordinator anak “down syndrome” yang berusia di atas 18 tahun di POTADS mengatakan, “Kalau secara sosial, sebetulnya kalau dibandingkan misalnya dengan penyandang autism gitu ya, penyandang down syndrome cenderung lebih sosial, lebih warm, lebih ramah, lebih mau membuka diri, lebih mau berkomunikasi. Nah ini sebetulnya secara sosial mereka sebetulnya lebih mampu berinteraksi.”

Ironisnya ada beberapa stigma yang menyulitkan perkembangan anak dengan “down syndrome,” antara lain stigma bahwa mereka tidak bisa hidup normal, tidak bisa sekolah atau belajar, memiliki keterlambatan perkembangan yang parah dan masalah kesehatan yang serius, dan tidak dapat berkontribusi pada masyarakat.

Kembali Jeffrey Ong, “Yang jadi tantangan memang intelektual dan memang cenderung stigma-stigma yang ada dalam masyarakat, bahwa mereka tidak punya potensi, mereka tidak bisa dikembangkan bahkan ada yang masih melihat down syndrome sebagai penyakit jadi tidak mau anak-anaknya dekat-dekat dengan penyandang down syndrome, masih ada yang seperti itu. Nah stigma-stigma itu yang sebagai komunitas sedang berusaha untuk kita lawan, bahwa tidak seperti itu sebetulnya, end the stereotype.”

Untuk itu POTADS, ujar Lisa Octaviani Rogi, berjuang memberikan penyuluhan kepada masyarakat, di pelosok daerah sekalipun.

“Kami datang ke sekolah-sekolah membawa anak-anak kami, di situ anak-anak kami masuk ke kelas-kelas, mereka belajar bersama. Itu kami ingin memperkenalkan ada lho individu dengan down syndrome. Jadi untuk menumbuhkan atau raising awareness sejak dini. Jadi POTADS Go To School intinya inklusivitas ya.”

Dalam “POTADS Go To School,” ia memaparkan keberhasilan penyandang “down syndrome” yang menjadi barista di café kopi, menekuni usaha kebersihan rumah, hingga bekerja di perusahaan. Termasuk Defrey, putra Jeffrey Ong, yang kini tekun magang di sebuah perusahaan dan bertekad hidup mandiri serta berkontribusi pada masyarakat.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terakhir pada tahun 2010-2018 mencatat usia ibu yang tua saat hamil, faktor genetik, kurangnya asupan folat dan paparan kimia atau zat asing merupakan risiko penyebab kelahiran bayi “down syndrome.”

Komnas Perempuan mencatat bahwa perempuan yang memiliki “down syndrome” merupakan kelompok yang sangat rentan mengalami stigma negatif, keterbatasan akses pendidikan dan pekerjaan, dan eksklusi sosial dalam pergaulan. [jm/em]

Sumber : Voa Indonesia 
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini