Ke-41 daerah dengan calon tunggal tersebut adalah Provinsi Papua Barat serta
kabupaten Aceh Utara, Aceh Tamiang, Tapanuli Tengah, Asahan, Pakpak Bharat,
Serdang badagai, Labuhanbatu Utara, Nias Barat, Dharmasraya, Batanghari, Ogan
Ilir, Emoat Lawang, Bengulu Utara, Lampung Barat, Lampung Timur, Tulang Bawang
Barat, Bangka, Bangka Selatan, Bintan, Ciamis, Banyumas, Sukoharjo, Brebes,
Trenggalek, Ngawi, Gresik, Benkayang, Tanah Bumbu, Balangan, Malinau, Maros,
Muna Barat, Pasangkayu, Manokwari dan Kaimana. Satu pasangan calon juga ada di
kota Pangkal Pinang, Pasuruan, Surabaya, dan Tarakan.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin mengatakan berdasarkan Pasal 54 d UU No.10 Tahun
2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, Ayat 1 menyatakan KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota menetapan pasangan calon terpilih pada pemilihan dengan calon
tunggal jika mendapatkan suara lebih dari 50 persen. Kalau perolehan suaranya kurang
dari 50 persen, pasangan kandidat yang kalah bisa mendaftar kembali dalam
pemilihan baru pada tahun berikutnya. Sebelum pemiihan baru digelar, pemerintah
menunjuk penjabat gubernur, bupati, atau wali kota, seperti dilansir dari
halaman VOA Indonesia, Kamis 12 September 2024.
Masinton Pasaribu dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang menduga adanya persekongkolan untuk hanya mencalonkan satu pasang calon kepala daerah, mendesak KPU untuk membuat aturan yang mendorong partisipasi publik.
"Karena ini sudah menjadi bagian persekongkolan di sana (daerah dengan calon tunggal). Pokoke, pokoke, calon tunggal. Apapun dasarnya calon tunggal," katanya.
Hal senada
disampaikan Guspardi Gaus dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) yang menilai
fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah sebagai hal yang
direkayasa. Oleh karena itu jika kotak kosong yang meraih suara lebih besar
dalam pilkada serentak 27 November nanti, Guspardi mengusulkan dilakukan
pemilihan ulang.
"Orang yang kalah di calon tunggal mendatang berhadapan dengan kotak
kosong, berarti orang itu kan orang yang tidak disukai. Kalau sudah tidak
disukai, tentu kebijakan kita saja sekarang ini," katanya.
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rahmat Bagja mengatakan setuju untuk menggelar pilkada baru pada tahun berikutnya jika kotak kosong yang menang. Ia merujuk pada Pasal 54 D ayat 3 UU Nomor 10 Tahun 2016, di mana ada dua pilihan waktu bagi KPU dalam menggelar pemilihan baru jika calon tunggal kalah dari kotak kosong, yakni pemilihan baru dilakukan tahun berikutnya atau pemilihan baru digelar mengikuti jadwal yang telah dimuat dalam peraturan undang-undang atau lima tahun.
"Fase pemilihan berikutnya sebagaimana termaktub pada Pasal 54 D ayat 2 dan 3 UU Nomor 10 Tahun 2016 sesungguhnya adalah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang dilakukan dengan tahapan yang baru sejak dari tahapan awal," ujarnya.
Rahmat
menjelaskan frase pemilihan berikutnya memberikan kesempatan kepada semua pihak
untuk mengajukan diri dalam pemilihan kepala daerah, termasuk pada calon
tunggal yang kalah dari kotak kosong.
Dalam kesimpulan rapat dibacakan oleh Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai
Golongan karya Ahmad Doli Kurnia, Komisi II, KPU, Bawaslu, Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemihan Umum (DKPP), dan Kementerian Dalam Negeri sepakat jika
kotak kosong yang menang atas calon tunggal, maka pemilihan baru digelar tahun
berikutnya pada 2025.
Pengajar hukum pemilihan umum di Universitas Indonesia Titi Anggraini menjelaskan alasan Mahkamah Konstitusi melegalkan calon tunggal dalam putusan tahun 2015 adalah untuk memberikan solusi atas kasus-kasus calon tunggal setelah dilakukan upaya maksimal menghadirkan minimal dua pasangan calon. Upaya maksimal dimaksud antara lain membuka pendaftaran baru, memverifikasi ulang dan melakukan berbagai upaya lain untuk merangsang partisipasi publik.
Fenomena
tahun 2015 itu berbeda dengan tahun 2024 ini. Titi menilai banyaknya calon
tunggal yang muncul dalam pilkada merupakan ekses agenda elit politik nasional
yang dipenetrasi lewat rekomendasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai yang hanya
menghasilkan calon tunggal.
"Kalau calon tunggal pada 2015 dilakukan untuk memberikan akses pencalonan
kepada partai, pasca 2015 calon tunggal disertai motif untuk menutup akses
pencalonan oleh partai dengan memborong semua tiket lebih dari sepuluh partai.
Sehingga parai tersisa tidak bisa mengusung calon," tuturnya.
Titi menyebutkan pada pemilihan kepala daerah tahun ini terdapat sentralisasi
pencalonan dan hegemoni pengurus pusat partai politik melalui rekomendasi dari
DPP partai sebagai syarat pengajuan calon. Dia menegaskan fenomena kotak kosong
menunjukkan ekspresi politik yang berbeda dengan calon kepala daerah yang
diusung oleh partai politik; bukan karena rendahnya partisipasi pemilih atau
kualitas demokrasi. [fw/em]