-->

Luhut Optimistis Investasi AS ke Indonesia Meningkat di Era Trump Kedua

Editor: yati
Sebarkan:

FILE - Seorang petugas mengatur peti kemas di terminal Indonesia Port Corporation di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 8 Oktober 2021. (Tatan Syuflana/AP)
JAKARTA, Suaraborneo.id — Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengaku cukup optimistis dengan perkembangan arus investasi dari Amerika ke Indonesia di era kedua kepemimpinan Trump.


“Saya kira (arus investasi) mungkin akan lebih baik ya. karena Trump itu menurut saya orangnya juga pragmatis," ungkap Luhut yang ditemui usai acara KTT Investasi AS-Indonesia ke-12, di Jakarta, Selasa (26/11/).

Luhut menegaskan bahwa investor dari Amerika ini akan tetap berminat menanamkan modalnya di Indonesia sepanjang regulasi dan birokrasi yang ada tidak berbelit-belit. Maka dari itu, ujarnya, pemerintah perlu membenahi hal tersebut untuk menciptakan iklim investasi yang baik.

“Tergantung bagaimana kita meng-entertain investasi mereka. Jadi willing of business itu memang harus diperhatikan, jangan ada regulasi-regulasi yang menghambat investasi ke sini, ke Indonesia,” tegasnya.

Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal mengungkapkan Indonesia akan merasakan dampak dari kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh Trump, seperti pemberlakukan tarif tambahan sebesar 10-20 persen untuk semua barang yang masuk ke Amerika Serikat. Ia melihat yang paling terdampak adalah China yang dikenakan tarif hingga 60 persen, dan Meksiko yang tarif produk otomotifnya bahkan dikenakan hingga 100 persen.

Indonesia, kata Faisal, akan terpukul mengingat 50 persen pasar ekspor produk tekstil tanah air adalah Amerika Serikat.

“Kalau itu terjadi tentu saja kita melihat industri tekstil akan semakin turun kinerjanya, karena sekarang saja sudah turun karena permasalahan masuknya impor dari China yang ilegal, pasar dalam negeri yang turun demand-nya sehingga efek itu saja sudah mendorong PHK pada industri tekstil ditambah lagi jika pasar ekspor terutama yang ke Amerika ini juga tergerus karena tarifnya cenderung lebih tinggi. Berarti ada potensi berlanjutnya PHK di industri yang banyak mengandalkan pasar ekspor ke Amerika,” ungkap Faisal.

Trump, menurut Faisal, juga berencana untuk mengurangi Generalized System of Preferences (GSP), yaitu program perdagangan preferensial yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Program ini bertujuan untuk membantu negara-negara berkembang dalam mengembangkan perekonomian dan keluar dari kemiskinan. Indonesia, katanya, merupakan salah satu negara yang paling banyak menikmati fasilitas tersebut.

Dampak lainnya, kata Faisal adalah kemungkinan terjadinya serbuan impor dari China. “Dampak lain yang tidak kalah mungkin juga akan terjadi adalah arus impor yang lebih deras dari China ke negara-negara termasuk di antara Indonesia karena ada barrier yang lebih tinggi ke pasar Amerika. Mereka mencari pasar-pasar yang lain, dan kondisi China sekarang sudah over supply sekali, demand-nya lemah. Jadi mereka perlu saluran untuk menyalurkan barang-barang produk manufaktur mereka, dan itu sebabnya mengapa sekarang impor dari China tinggi baik yang legal maupun ilegal. Ini dampak lanjutan, peningkatan potensi impor di pasar dalam negeri sehingga lebih ketat persaingannya,” jelasnya.

Pemerintah, menurut Faisal, perlu mempercepat diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara non tradisional yang selama ini belum dijajaki.

“Tapi diversifikasi saja tidak cukup, artinya yang bisa dikontrol oleh pemerintah ya pasar dalam negeri. Jadi ekonomi dalam negerinya harus digerakkan, digairahkan kembali karena itu yang menjadi peredam banyak industri banyak sektor swasta di kita. Jadi kalau pasar ekspor mengalami tekanan berarti harus mengandalkan pasar dalam negeri dan pasar dalam negeri kita besar. Maka kebijakan-kebijakan yang justru kontraproduktif seperti menaikkan pajak yaitu PPn, menambah cukai , itu justru malah melemahkan demand dari domestik terutama kelas menengah yang saat ini sedang mengalami permasalahan,” pungkasnya. [gi/ab]

Sumber : Voa Indonesia 
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini