-->

Warga Pesisir Batu Ampar Manfaatkan Getah Nipah Sebagai Penghasilan Alternatif

Editor: Redaksi
Sebarkan:

Warga pesisir Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya Memanfaatkan Getah Nipah sebagai salah satu sumber penghasilan Alternatif. (Foto/Ist)
PONTIANAK, SUARABORNEO.ID - Siapa yang tak kenal dengan Nipah? Tumbuhan dengan nama Latin Nypa fruticans ini umumnya dijumpai di pesisir Kalimantan Barat. Nipah termasuk ke dalam jenis palma yang masih berkerabat dengan kelapa.

Karakteristiknya yang khas menjadikan tumbuhan ini sangat penting dalam menjaga keutuhan ekosistem mangrove. Nipah biasanya menempati lokasi di pinggiran perairan dangkal seperti sungai pasang surut yang mendekat ke laut.

Di sekitar hutan mangrove inilah, puluhan ribu warga Desa Batu Ampar merenda impian. Berdasarkan data profil desa per September 2022, Desa Batu Ampar berpenduduk sebanyak 10.196 jiwa atau 2.814 kepala keluarga. Luas wilayahnya mencapai 93.932,00 hektare. Secara administratif, Batu Ampar terletak di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya.

Umumnya masyarakat bermukim di bantaran sungai dan memanfaatkan hutan mangrove sebagai sumber kehidupan. Salah satu tumbuhan mangrove yang dimanfaatkan oleh warga adalah nipah. Mereka memanfaatkan daun, tangkai daun, pelepah, lidi, hingga buahnya untuk berbagai kebutuhan.

Namun, di Dusun Teluk Air, Desa Batu Ampar, seorang nelayan bernama Usman telah memanfaatkan getah nipah sebagai bahan baku gula. Selain mencari ikan, udang, dan kepiting sebagai mata pencaharian utamanya, Usman mencoba peruntungan dengan mengelola gula nipah sebagai penghasilan alternatif.

Gula nipah yang dibuat Usman tak seketika langsung jadi. Butuh tiga tahun bagi Usman dan Kelompok Usaha Perhutanan Sosialnya, agar produksi gula nipah benar-benar berhasil. Apalagi mereka sama sekali tak memiliki pengetahuan bagaimana membuatnya. Hanya keinginan kuat untuk mencari alternatif pendapatan lain yang dimiliki.

Bak gayung bersambut, keinginan kuat memanfaatkan potensi nipah itu menuai respon Yayasan Hutan Biru. Usman dan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) belajar membuat gula nipah. Di kelompok ini ada 11 anggota, masing-masing enam perempuan dan lima laki-laki.

“Saat urung rembuk, masyarakat mencetus ide membuat gula nipah karena melihat potensi pohon nipah di sekitar kampung,” cerita Usman.

Berdasarkan data YHB, luasan pohon nipah menempati urutan ketiga dari luasan hutan mangrove di Desa Batu Ampar. Luasan hutan mangrove sekitar 26 ribuan hektar. Dari luasan hutan mangrove itu paling tinggi adalah Rhizophora sp atau dengan nama lain pohon bakau.

Lalu Bruguiera sp atau lacang. Kemudian yang ketiga adalah pohon nipah. Luasan hutan mangrove itu masuk dalam hutan desa yang total luasannya 33.140 hektare. Karena komoditas pohon nipah melimpah inilah yang memantik ide masyarakat mengolahnya menjadi gula.

Usman bercerita proses produksi gula nipah itu terhitung tiga pekan. Mulai dari pelemasan buah nipah. Pelemasan buah nipah pertama dilakukan selama tiga hari. Setelah itu jeda dari segala aktivitas selama tiga hari. Berlanjut pada pelemasan kedua yang juga dilakukan selama tiga hari. Setelah itu terjeda selama tiga hari. Selanjutnya ke pelemasan ketiga selama tiga hari. Kembali di jeda selama tiga hari.

Lanjut Usman, pelemasan tandan buah nipah dengan menggoyang-goyang ke kiri dan kanan, ke atas dan ke bawah serta memutar–mutar buah nipah secara perlahan. Kemudian durasi waktu yang diperlukan adalah 5–10 menit untuk satu tandan buah Nipah.

Menurut Usman, tujuan pelemasan agar tandan buah nipah menjadi lembut. Biasanya tandan buah nipah yang baru mempunyai tekstur warna kuning dan orange. Jika sudah mendapat perlakukan selama 30-40 hari maka akan berubah menjadi hijau.

Nipah baru disadap di hari ke-20. Nipah yang siap disadap, dilihat dari ukuran buahnya sebesar bola kaki dengan warna kecokelat-cokelatan. Indikator ini berpengaruh dengan hasil produksi air nipah nantinya. Indikator lainnya, batang pohon sehat, dan daun rindang.

Hari pertama penyadapan cenderung mendapatkan jumlah nira yang sedikit. Begitu juga di hari kedua. Baru di hari ketiga, nira yang didapatkan jauh lebih banyak. “Pada umumnya rata-rata satu tandan buah saja yang disadap,” sebut Usman.

Usman biasa turun menyadap pagi dan sore hari. Dalam sehari dia mampu menyadap hingga lima tandan pohon nipah. Satu pohon satu tandan. Kisaran nira yang didapat dua hingga tiga liter.

Saat menyadap, batang buah nipah disayat. Ujung tandan yang tersayat diikat wadah. Fungsinya untuk menampung cairan yang keluar atau umumnya disebut nira. Bila turun menyadap pagi, maka nira yang tertampung di wadah baru diambilnya sore hari.

Bila ia menyadap sore, tetesan nira yang masuk di wadah diambilnya pagi hari. Nira yang sudah diambil dari wadahnya itu ditampung di jeriken ukuran lima liter. “Kalau diambil lewat dari 12 jam maka terjadi fermentasi dan tidak bisa diolah menjadi gula nipah,” terang Usman.

Nira yang sudah diambil itu kemudian dimasak kurang lebih satu jam. Nira akan mengental karena pemanasan. Selanjutnya dimasukkan ke dalam cetakan dan dibiarkan mengering.

Fasilitator Lokal YHB Yayan Sapardi mengaminkan hal itu. Menurutnya, upaya itu sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2020. Mulai dari pelatihan teori hingga praktik dengan menghadirkan trainer mumpuni dari berbagai daerah di Indonesia.

“Tiga tahun nyaris gagal dan baru berhasil di tahun 2023 ini. Masyarakat sempat menggunakan potongan ruas bambu untuk wadah gula nipah. Namun tidak berhasil juga. Sampai sekarang menggunakan cetakan dan gula nipah sudah siap dipasarkan,” kata Yayan.

Warna gula nipah ini tak ubahnya gula merah dari kelapa. Hanya rasanya berbeda. Gula nipah berasa gurih seperti kacang-kacangan. Karena pohon nipah hidup di air payau maka ada rasa keasinan.

Community Business Officer YHB Desi Pontiyana mengatakan bahwa gula nipah dari Batu Ampar ini sudah beredar terbatas di Kota Pontianak dan Kubu Raya.

“Harganya mencapai Rp50 ribu per kilogram. Meski terbilang mahal, gula nipah tetap dicari konsumen sampai sekarang,” katanya di Pontianak, Rabu (27/9/2023).

Harga yang fantastis ini, sambung Desi, sejatinya dapat mendongkrak perekonomian warga Batu Ampar, khususnya di Dusun Teluk Air. “Ini dapat dijadikan sebagai “buah tangan” saat ada tamu yang berkunjung,” sebut Desi.

Sayangnya, produksi gula nipah ini tak setiap saat dilakukan Usman bersama rekannya di KUPS. Selain belum familiar, masyarakat masih terkendala dengan pengemasan dan pengetahuan yang belum mumpuni.

Padahal, jika gula nipah ini dapat menambah pundi-pundi perekonomian warga, maka ekosistem mangrove di sekitar kampung dapat dipastikan terjaga dengan baik. Masyarakat tidak mungkin merusak sumber-sumber penghidupannya sendiri. (Rls/TN)

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini