Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (5/5), mengumumkan hasil tes
wawasan kebangsaan terhadap para pegawainya sebagai syarat untuk
menjadi aparatur sipil negara atau pegawai negeri.
Tes ini merupakan syarat untuk pengalihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara atau pegawai negeri. Dari 1.351 peserta tes, terdapat dua orang tidak hadir pada tahap wawancara.
"Pegawai yang memenuhi syarat (lolos) sebanyak 1.274. Pegawai yang tidak memenuhi syarat sebanyak 75 orang. Pegawai yang tidak hadir wawancara sebanyak dua orang," kata Nurul.
Nurul mengatakan syarat yang harus dipenuhi pegawai KPK untuk menjadi pegawai negeri antara lain setia dan taat kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah.
Pegawai KPK juga tidak boleh terlibat organisasi yang dilarang pemerintah atau oleh putusan pengadilan serta memiliki integritas dan moralitas yang baik.
Menurut Nurul, yang diukur dari tes wawasan kebangsaan itu adalah integritas dan moralitas pegawai KPK, netralitas, dan pegawai KPK tidak boleh berpaham radikal atau liberal yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Proses persiapan tes, termasuk materi ujian melibatkan sejumlah pihak, termasuk Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Tidak Ada Kepentingan Pribadi
Pada acara jumpa pers tersebut, Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan proses pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai negeri telah disiapkan secara matang oleh KPK, bekerja sama dengan seluruh pihak terkait.
"Tidak ada kepentingan KPK, apalagi kepentingan pribadi maupun kelompok, dan tidak ada niat KPK untuk mengusir insan KPK dari lembaga KPK. Kita sama-sama berjuang untuk memberantas korupsi," kata Firli.
Firli menegaskan keputusan diambil pimpinan KPK adalah keputusan bersama secara bulat. Dia menambahkan sampai kapan pun pemberantasan terhadap korupsi di Indonesia tidak pernah surut dan dilemahkan.
Menurut Firli penundaan pengumuman hasil tes wawasan kebangsaan itu dilakukan untuk menunggu proses hukum terhadap gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi kemarin memutuskan menolak gugatan yang meminta undang-undang baru KPK itu dibatalkan.
Sesuai keputusan pimpinan dan Dewan Pengawas KPK, menurut Sekretaris Jenderal KPK Cahya Harefa, KPK akan berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Badan Kepegawaian Negara (BKN) menindaklanjuti 75 pegawai KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan.
Selama belum ada keputusan dari kedua lembaga itu, KPK tidak akan memberhentikan mereka yang tidak memenuhi syarat tersebut.
Menjawab pertanyaan wartawan, Firli tidak mau memberitahu apakah Novel Baswedan termasuk di antara 75 pegawai KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan. Dia menambahkan siapa saja yang lulus dan tidak lulus akan diumumkan setelah ada keputusan dari Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi serta BKN.
Firli menegaskan pula sampai saat ini tidak ada proses untuk memecat pegawai yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan.
Bukan Instrumen Pengangkatan ASN
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menilai tes kebangsaan ini bukan lah instrumen yang dapat dipakai untuk mengangkat atau tidak sebagai aparatur sipil negara.
Saat ini pemberantasan korupsi sudah berada di titik nadir. KPK yang tugas utamanya memberantas korupsi dinilai justru memproduksi banyak masalah dan seakan tidak kunjung henti. Mulai dari kontroversi revisi UU KPK, berbagai kontroversi kebijakan pimpinan KPK periode 2019-2023 dan sejumlah masalah yang lain.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan tidak ada dalam UU KPK yang mengatur tentang tes kebangsaan ini sehingga tidak ada dasar KPK melakukan hal itu.
Menurut Usman, KPK seharusnya tidak perlu melakukan tes wawasan kebangsaan itu.
"Soal apakah ia memiliki wawasan kebangsaan atau tidak itu tergantung pada tindakannya. Yang tidak memiliki wawasan kebangsaan itu koruptor-koruptor karena memperkosa bumi pertiwi karena hanya untuk keungtungan sendiri,” ungkap Usman.
Menurut Usman, sangat menyedihkan ketika masyarakat Indonesia sangat berharap pada KPK untuk memberantas korupsi tapi elit-elit politik malah melemahkan lembaga antirasuah yang selama ini sangat berperan dalam membongkar dua perkara korupsi, yakni korupsi yang melibatkan para elit politik dan/atau pejabat publik, dan korupsi oleh aparat penegak hukum, termasuk kepolisian. [fw/em]
Penulis : VOA