Makau mengatakan, Rabu (16/6), pihaknya menutup kantor perwakilannya di Taiwan, menyusul tetangganya Hong Kong yang melakukan langkah yang sama bulan lalu sebagai protes atas dukungan Taipei untuk para aktivis prodemokrasi.
Hong Kong dan Makau adalah kota-kota "semiotonom" di China, meskipun kebijakan luar negeri semuanya diputuskan oleh Beijing dan pemerintah pusat memiliki peran yang semakin langsung dalam menentukan bagaimana kedua bekas koloni itu dijalankan dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam sebuah pernyataan singkat, Makau mengumumkan bahwa Delegasi Ekonomi dan Budayanya di Taiwan akan menangguhkan sementara operasi mulai 19 Juni.
Sebagai tanggapan, Dewan Taiwan untuk Urusan China Daratan menyatakan "penyesalan mendalam atas keputusan sepihak pemerintah Makau," dan mengatakan akan terus membuka kantor perdagangannya di pusat perjudian China itu.
Makau tidak memberikan alasan untuk penutupan tersebut. Tapi pernyataannya hampir sama dengan pernyataan Hong Kong bulan lalu.
Pengumuman Hong Kong itu kemudian diikuti oleh pernyataan pemerintah Hong Kong yang mengukuhkan penutupan itu memang bersifat politis.
Taiwan, menurut pernyataan Hong Kong, telah berulang kali "sangat ikut campur" dalam urusan kota itu dan "menciptakan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki" dalam hubungan mereka.
Hong Kong dan Makau mematuhi pandangan China yang otoriter bahwa Taiwan yang demokratis dan memiliki pemerintahan sendiri adalah bagian dari wilayahnya dan suatu hari harus direbut, dengan kekerasan jika perlu.
Itu membuat kontak resmi dengan Taipei menjadi rumit, meskipun Taiwan adalah mitra dagang utama.
China mendorong berdirinya kantor-kantor perdagangan di Taiwan ketika hubungannya lebih hangat dengan pulau itu.
Namun sejak terpilihnya Tsai Ing-wen 2016 sebagai presiden Taiwan, Beijing memutuskan kontak resmi dan meningkatkan tekanan ekonomi, militer, dan diplomatik.
Beijing membenci Tsai karena ia menganggap Taiwan sebagai negara berdaulat de facto dan bukan bagian dari "satu China."
Pemerintahnya juga merupakan pendukung vokal prinsip-prinsip demokrasi dan diam-diam membantu membuka pintu bagi beberapa warga Hong Kong yang mencoba melarikan diri dari tindakan keras Beijing terhadap perbedaan pendapat setelah protes demokrasi besar-besaran yang mengguncang pusat keuangan itu pada 2019. [ab/uh]
Sumber : VOA